Selasa, 30 April 2013

Hakikat Karakter



Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu ‘to mark’ yang artinya menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus, tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’, apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.
Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.” Bagi Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan.
Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu, individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam merumuskan  hakikat karakter, Simon Philips (2008:235) berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘”orang berkarakteradalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif, bukan yang negatif. Gagasan ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung character strength dengan kebajikan. ‘Character strength’ dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa sikap jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

Senin, 29 April 2013


Kepemimpinan Sekolah

Membicarakan kepemimpinan (leadership) seolah tidak ada habisnya, karena hal ini merupakan salah satu wacana empuk yang senantiasa digulirkan dalam upaya mencari makna kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan bukanlah hal baru melainkan telah menjadi topik yang sangat menarik dari para ahli sejarah dan filsafat sejak masa dahulu. Sejak saat itu para ahli telah menawarkan 350 lebih definisi tentang kepemimpinan. Salah seorang ahli (Richard L. Daft, 1999) menyimpulkan bahwa “Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah diobservasi, tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk dipahami”.
Mendefinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang kompleks dan sulit, karena sifat-dasar kepemimpinan itu sendiri memang sangat kompleks. Akan tetapi, perkembangan ilmu saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentang kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif.
Untuk lebih mempermudah pemahaman kita, maka akan diajukan satu definisi yang kiranya mampu menjadi landasan untuk membahas konsep kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (staff) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Joseph C. Rost., 1993).
Kepemimpinan melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (staff). Pengaruh (influence) dalam hal ini berarti hubungan di antara pemimpin dan pengikut sehingga bukan sesuatu yang pasif, tetapi merupakan suatu hubungan timbal balik dan tanpa paksaan. Dengan demikian, kepemimpinan itu sendiri merupakan proses yang saling mempengaruhi.
Pemimpin mempengaruhi staffnya, demikian sebaliknya. Orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut menginginkan sebuah perubahan sehingga pemimpin diharapkan mampu menciptakan perubahan yang signifikan dalam sekolah dan bukan mempertahankan status quo. Selanjutnya, perubahan tersebut bukan merupakan sesuatu yang diinginkan pemimpin, tetapi lebih pada tujuan yang diinginkan dan dimiliki bersama.
Tujuan tersebut merupakan sesuatu yang diinginkan, yang diharapkan, yang harus dicapai di masa depan sehingga tujuan ini menjadi motivasi utama visi dan misi sekolah. Pemimpin mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai perubahan berupa hasil yang dinginkan bersama. Kepemimpinan merupakan aktivitas orang-orang, yang terjadi di antara orang-orang, dan bukan sesuatu yang dilakukan untuk orang-orang sehingga kepemimpinan melibatkan pengikut (followers).
Proses kepemimpinan juga melibatkan keinginan dan niat, keterlibatan yang aktif antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan yang dinginkan bersama. Dengan demikian, baik pemimpin ataupun pengikut mengambil tanggung jawab pribadi (personal responsibility) untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
Salah satu stereotipe yang bias adalah bahwa pemimpin merupakan orang yang harus lebih berkualitas dan berbeda dibandingkan staffnya. Akan tetapi, kenyataannya kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif adalah juga dibutuhkan oleh staffnya. Untuk bisa berhasil, sekolah juga membutuhkan para staff yang berkualitas. Sebab, tanpa staff yang berkualitas, pemimpin akan melangkah dengan timpang. Staff yang efektif bekerja dengan antusiasme, dinamis, kreatif, dan mempunyai komitmen yang tinggi pada tugasnya dan sekolah. Mereka meninggalkan kepentingan pribadi, dan berani melakukan tindakan yang tepat. Staff yang efektif bukan staff yang bertipe “yes boss” atau “Asal Bapak Senang” yang secara buta mengikuti apa yang diinginkan pemimpinnya. Pemimpin efektif dan staff efektif merupakan manusia yang sama, tetapi memiliki peran yang berbeda pada waktu yang berbeda. Idealnya, kepemimpinan dimiliki dan diperankan baik oleh pemimpin dan staff yang secara individual terlibat aktif dan bertanggung jawab atas tugasnya.

Minggu, 28 April 2013

Refleksi Hardiknas 2013



NAPAK TILAS PESAN KI HAJAR DEWANTARA
(Sebuah Refleksi Hardiknas 2013)
Oleh : Nanang Heryanto, S.Pd.I

2 Mei merupakan salah satu hari besar yang memiliki makna mendalam bagi seluruh komponen bangsa, khususnya di kalangan pendidikan. Hari Pendidikan Nasional merupakan penghargaan terhadap salah satu sosok pendidik sejati bangsa ini yaitu Ki Hadjar Dewantara. Namun akan sia-sia jika peringatan Hardiknas ini hanya bersifat seremonial tanpa memahami esensi yang terkandung dalam perjuangan dan idealisme seorang Ki Hajar Dewantara.
Sosok Ki Hajar Dewantara yang terlahir dengan nama R.M Suwardi Suryaningrat merupakan keturunan Keraton Yogyakarta. Namun di usia 40 tahun beliau rela menanggalkan gelar kebangsawanannya agar lebih dekat dengan rakyat jelata. Dari sisi ini kita bisa melihat betapa kerendahan hati Ki Hajar Dewantara yang rela meninggalkan segala fasilitas istimewa selaku “Darah Biru” demi memperjuangkan harapannya akan sebuah bangsa yang terdidik. Hal seperti ini sepertinya semakin jarang kita temui pada masa ini, yang justru lebih banyak yang mengagungkan segala atribut keistimewaannya dengan melupakan kepentingan yang lebih besar.
Tak hanya sifat keteladanan tersebut yang terus terkenang oleh putra bangsa ini, pesan beliau yang menjadi motto dan semangat pendidikan bangsa kita pun akan tetap abadi dan relevan dengan perubahan zaman. Tiga pesan beliau tersebut adalah “Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Sekedar mengingatkan kembali pandangan kita akan tiga pesan tersebut, kita renungkan satu per satu pesan Ki Hajar Dewantara untuk merefleksikan tindakan kita selama ini, sesuai atau belum dengan harapan Bapak Pendidikan bangsa ini.
Ing Ngarso Sung Tulodo secara harfiah dimaknai sebagai “Yang di depan memberikan teladan”. Pengertian yang di depan tentunya bersifat universal kepada siapa saja yang berada di posisi “depan”, yaitu para pemimpin dari berbagai segmen organisasi. Sudah sepantasnya memang jika para pemimpin memberikan keteladanan kepada yang dipimpinnya. Akan sangat sulit mencapai harapan sebuah organisasi atau lingkungan sosial yang teratur jika pemimpin tidak memiliki sifat keteladanan bahkan tidak memiliki prakarsa sama sekali untuk memberikan keteladanan. Karena sesungguhnya pemimpin yang baik harus menjadi teladan dan idola bagi yang dipimpinnya. Sebagai umat Islam bisa mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang menerapkan kepemimpinan berbasis keteladanan.
Ing Madyo Mangun Karso  dapat diartikan secara sederhana sebagai “yang di tengah memberikan bimbingan atau peluang untuk berprakarsa”. Pesan ini ditujukan kepada pihak yang berada di antara pimpinan dan yang dipimpin agar mampu memberikan bimbingan kepada siapa saja untuk selalu berprakarsa atau memotivasi orang lain untuk maju. Motivator seperti ini sangat dibutuhkan bangsa ini agar muncul generasi penerus yang selalu siap menjalankan roda kehidupan suatu bangsa. Di dalam pesan kedua ini juga terselip makna jika kita berada di tengah, sudah sewajibnya kita memberikan peluang kepada yang berada di bawah untuk mengekspresikan kemampuannya untuk memajukan bangsa. Akan sangat kontradiktif dengan harapan Ki Hajar, jika justru yang terjadi adalah saling jegal dan pelemahan motivasi kepada generasi yang ingin maju.
Pesan ketiga Ki Hajar Dewantara dan yang paling membekas dalam jiwa para pendidik adalah Tut Wuri Handayani yang memiliki arti “Di Belakang Memberikan Dorongan” Diharapkan bagi para pendidik selaku pelaksana kebijakan pendidikan selalu mengikuti dan mendorong kemajuan dunia pendidikan itu sendiri. Cara-cara mendorong kemajuan pendidikan sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan mengembalikan segala aktivitas pendidikan kepada tujuan awal Founding Father bangsa ini yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika semua pendidik dapat berperan sebagai motivator yang selalu memberikan dorongan dari belakang untuk memajukan peserta didiknya dengan segala kesadaran profesionalnya, maka kualitas bangsa kita dengan sendirinya pun akan meningkat.
Harapan bangsa ini adalah ketiga pesan Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diterapkan dan kembali dikumandangkan di dada setiap pendidik untuk mencapai tujuan bangsa. Semoga dengan memperingati Hari Pendidikan Nasional ini kita dapat menanamkan kembali ketiga nilai filosofis tersebut dalam aspek kehidupan ini. Maju terus pendidikan Indonesia !

Senin, 22 April 2013

Manajemen Pendidikan by Akhmad S



Profil Manajer dan Pemimpin Pendidikan
Copy of AKHMAD SUDRAJAT

Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan pendidikan nasional yang amat berat saat ini, mau tidak mau pendidikan harus dipegang oleh para manajer dan pemimpin yang sanggup menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang ada, baik pada level makro maupun mikro di sekolah.

Merujuk pada pemikiran Rodney Overton (2002) tentang profil manajer dan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, berikut ini diuraikan secara singkat tentang 20 profil manajer dan pemimpin pendidikan yang yang dibutuhkan saat ini.

1. Mampu menginspirasi melalui antusiasme yang menular.

Pendidikan harus dikelola secara sungguh-sungguh, oleh karena itu para manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan semangat dan kesungguhan di dalam melaksanakan segenap tugas dan pekerjaanya. Semangat dan kesungguhan dalam bekerja ini kemudian ditularkan kepada semua orang dalam organisasi, sehingga mereka pun dapat bekerja dengan penuh semangat dan besungguh-sungguh.

2. Memiliki standar etika dan integritas yang tinggi.

Penguasaan standar etika dan integritas yang tinggi oleh para manajer atau pemimpin pendidikan tidak hanya terkait dengan kepentingan kepemimpinan dalam organisasi, namun juga tidak lepas dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan sudah seharusnya dipegang oleh para manajer (pemimpin) yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi, sehingga pada gilirannya semua orang dalam organisasi dapat memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi.

3. Memiliki tingkat energi yang tinggi.

Mengurusi pendidikan sebenarnya bukanlah mengurusi hal-hal yang sifatnya sederhana, karena didalamnya terkandung usaha untuk mempersiapkan suatu generasi yang akan mengambil tongkat estafet kelangsungan suatu bangsa.di masa yang akan datang. Kegagalan pendidikan adalah kegagalan kelanjutan suatu generasi. Untuk mengurusi pendidikan dibutuhkan energi dan motivasi yang tinggi dari para manajer dan pemimpin pendidikan. Pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki ketabahan, daya tahan (endurance) dan pengorbanan yang tinggi dalam mengelola pendidikan.

4. Memiliki keberanian dan komitmen

Saat ini pendidikan dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, yang menuntut keberanian dari para manajer (pemimpin) pendidikan untuk melakukan perubahan-perubahan agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang ada. Selain itu, pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Kehadirannya sebagai manajer (pemimpin) benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan organisasi, yang didasari rasa kecintaannya terhadap pendidikan.

5. Memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan bersikap nonkonvensional.

Saat ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi pendidikan sangat kompleks, sehingga menuntut cara-cara penyelesaian yang tidak mungkin hanya dilakukan melalui cara-cara konvensional. Manajer (pemimpin) pendidikan yang memiliki kreativitas tinggi akan mendorong terjadinya berbagai inovasi dalam praktik-praktik pendidikan, baik pada tataran manjerialnya itu sendiri maupun inovasi dalam praktik pembelajaran siswa.

6. Berorientasi pada tujuan, namun realistis

Tujuan pendidikan berbeda dengan tujuan-tujuan dalam bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memahami tujuan-tujuan pendidikan. Di bawah kepemimpinnanya, segenap usaha organisasi harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen beserta seluruh substansinya. Pencapaian tujuan pendidikan disusun secara realistis, dengan ekspektasi yang terjangkau oleh organisasi, tidak terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi.

7. Memiliki kemampuan organisasi yang tinggi

Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan banyak komponen, yang di dalamnya membutuhkan upaya pengorganisasian secara tepat dan memadai. Bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada, bagaimana mengoptimalkan kurikulum dan pembelajaran, bagaimana mengoptimalkan sumber dana, dan bagaimana mengoptimalkan lingkungan merupakan hal-hal penting dalam pendidikan yang harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga menuntut kemampuan khusus dari para manajer (pemimpin) pendidikan dalam mengorganisasikannya.

8. Mampu menyusun prioritas

Begitu banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam pendidikan sehingga menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan untuk dapat memilah dan memilih mana yang penting dan harus segera dilaksanakan dan mana yang bisa ditunda atau mungkin diabaikan. Kemampuan manajer (pemimpin) pendidikan dalam menyusun prioritas akan terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan.

9. Mendorong kerja sama tim dan tidak mementingkan diri sendiri, upaya yang terorganisasi.

Kegiatan dan masalah pendidikan yang sangat kompleks tidak mungkin diselesaikan secara soliter dan parsial. Manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berada dalam lingkungan internal maupun eksternal. Demikian pula, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mendorong para bawahannya agar dapat bekerjasama dengan membentuk team workyang kompak dan cerdas, sekaligus dapat meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

10. Memiliki kepercayaan diri dan memiliki minat tinggi akan pengetahuan.

Masalah dan tantangan pendidikan yang tidak sederhana, menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan dapat memiliki keyakinan diri yang kuat. Dalam arti, dia meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dia juga memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sosial, moral maupun intelektual. Keyakinan diri yang kuat bukan berarti dia lantas menjadi seorang yang “over confidence”, mengarah pada sikap arogan dan menganggap sepele orang lain.. Di samping itu, sudah sejak lama pendidikan dipandang sebagai kegiatan intelektual. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan intelektualitas yang tinggi, dengan memiliki minat yang tinggi akan pengetahuan, baik pengetahuan tentang manajerial, pengetahuan tentang perkembangan pendidikan bahkan pengetahuan umum lainnya.

11. Sesuai dan waspada secara mental maupun fisik.

Tugas dan pekerjaan manajerial pendidikan yang kompleks membutuhkan kesiapan dan ketangguhan secara mental maupun fisik dari para manajer pendidikan. Beban pekerjaan yang demikian berat dan diluar kapasitas yang dimilikinya dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Agar dapat menjalankan roda organisasi dengan baik, seseorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menjaga dan memelihara kesehatan fisik dan mentalnya secara prima. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat memperhatikan kesehatan mental dan fisik dari seluruh anggota dalam organisasinya.

12. Bersikap adil dan menghargai orang lain.

Dalam organisasi pendidikan melibatkan banyak orang yang beragam karakteristiknya, dalam kepribadian, keyakinan, cara pandang, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan sebagainya. Kesemuanya itu harus dapat diperlakukan dan ditempatkan secara proporsional oleh manajer (pemimpin). Manajer (pemimpin) pendidikan harus memandang dan menjadikan keragaman karakteristik ini sebagai sebuah kekuatan dalam organisasi, bukan sebaliknya.

13. Menghargai kreativitas

Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan sentuhan kreativitas dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya menajer (pemimpin) yang dituntut untuk berfikir kreatif, tetapi semua orang dalam organisasi harus ditumbuhkan kreativitasnya. Pemikiran kreatif biasanya berbeda dengan cara-cara berfikir pada umumnya. Dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengakomodasi pemikiran-pemikiran kreatif dari setiap orang dalam organisasi, yang mungkin saja pemikiran-pemikiran itu berbeda dengan sudut pandang yang dimilikinya.

14. Menikmati pengambilan resiko.

Tatkala keputusan untuk berubah dan berinovasi telah diambil dan segala resiko telah diperhitungkan secara cermat. Namun dalam implementasinya, tidak mustahil muncul hal-hal yang berasa di luar dugaan sebelumnya, maka dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap menunjukkan ketenangan, keyakinan dan berusaha mengendalikan resiko-resiko yang muncul. Jika memang harus berhadapan dengan sebuah kegagalan, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap dapat menunjukkan tanggung jawabnya, tanpa harus mencari kambing hitam dari kegagalan tersebut. Selanjutnya, belajarlah dari pengalaman kegagalan tersebut untuk perbaikan pada masa-masa yang akan datang.

15. Menyusun pertumbuhan jangka panjang

Kegiatan pendidikan bukanlah kegiatan sesaat, tetapi memiliki dimensi waktu yang jauh ke depan. Seorang manajer (pemimpin) pendidikan memang dituntut untuk membuktikan hasil-hasil kerja yang telah dicapai pada masa kepemimpinannya, tetapi juga harus dapat memberikan landasan yang kokoh bagi perkembangan organisasi, jauh ke depan setelah dia menyelesaikan masa jabatannya. Kecenderungan untuk melakukan praktik “politik bumi hangus” harus dihindari. Yang dimaksud dengan “politik bumi hangus” disini adalah praktik kotor yang dilakukan manajer (pemimpin) pendidikan pada saat menjelang akhir jabatannya, misalnya dengan cara menghabiskan anggaran di tengah jalan, atau merubah struktur organisasi yang sengaja dapat menimbulkan chaos dalam organisasi, sehingga mewariskan masalah-masalah baru bagi manajer (pemimpin) yang menggantikannya.

16. Terbuka terhadap tantangan dan pertanyaan.

Menjadi manajer (pemimpin) pendidikan berarti dia akan dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi, merentang dari yang sifatnya ringan hingga sangat berat sekali. Semua itu bukan untuk dihindari atau ditunda-tunda tetapi untuk diselesaikan secara tuntas.

17. Tidak takut untuk menantang dan mempertanyakan.

Selain harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada (current problems) secara tuntas, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk memunculkan tantangan dan permasalahan baru, yang mencerminkan inovasi dalam organisasi. Dengan demikian, menjadi manajer (pemimpin) pendidikan tidak hanya sekedar melaksanakan rutinitas dan standar pekerjaan baku, tetapi memunculkan pula sesuatu yang inovatif untuk kemajuan organisasi.

18. Mendorong pemahaman yang mendalam untuk banyak orang.

Kegiatan pendidikan menuntut setiap orang dalam organisasi dapat memahami tujuan, isi dan strategi yang hendak dikembangkan dalam organisasi. Manajer (pemimpin) pendidikan berkewajiban memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat memahaminya secara jelas, sehingga setiap orang dapat memamahi peran, tanggung jawab dan kontribusinya masing-masing dalam organisasi. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengembangkan setiap orang dalam organisasi untuk melakukan perbuatan belajar sehingga organisasi pendidikan benar-benar menjadi sebuah learning organization.

19. Terbuka terhadap ide-ide dan pandangan baru.

Pandangan yang keliru jika pendidikan dipandang sebagai sebuah kegiatan monoton dan rutinitas belaka. Pendidikan harus banyak melahirkan berbagai inovasi yang tidak hanya dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan itu sendiri tetapi juga kepentingan di luar pendidikan. Untuk dapat melahirkan inovasi, manajer (pemimpin) pendidikan harus terbuka dengan ide-ide dan pandangan baru, baik yang datang dari internal maupun eksternal, terutama ide dan pandangan yang bersumber dari para pengguna jasa (customer) pendidikan.

20. Mengakui kesalahan dan beradaptasi untuk berubah.

Asumsi yang mendasarinya adalah manajer (pemimpin) pendidikan adalah manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Jika melakukan suatu kesalahan, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya tanpa harus mengorbankan pihak lain atau mencari kambing hitam. Lakukan evaluasi dan perbaikilah kesalahan pada masa-masa yang akan datang. Jika memang kesalahan yang dilakukannya sangat fatal, baik secara moral, sosial, maupun yuridis atau justru dia terlalu sering melakukan kesalahan mungkin yang terbaik adalah adanya kesadaran diri bahwa sesungguhnya dia tidak cocok dengan tugas dan pekerjaan yang diembannnya, dan itulah pilihan yang terbaik bagi dirinya dan organisasi.

Rabu, 17 April 2013

MENGAJAR SEBAGAI PROFESI



OLEH : Dra. Evi Dihanti, M.Pd (Widyaiswara Madya LPMP JABAR)

 

MENGAJAR SEBAGAI PROFESI
oleh
Dra. Evi Dihanti, M.Pd
Widyaiswara Madya
LPMP JABAR

A.    Tinjauan Tentang Kegiatan Belajar Mengajar

1.    Pengertian Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar berarti berusaha (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat sesuatu kepandaian. Sedangkan menurut pengertian  secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal senada dikemukakan oleh Slamet (2003:2) bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selain pengertian di atas, Syaiful Sagala (2005:11-34) dalam bukunya “Konsep dan Makna Pembelajaran” mengemukakan beberapa pandangan para ahli tentang pengertian belajar. Pertama, Arthur T. Jersild menyatakan bahwa belajar adalah “modification of behaviour through experience and training” yaitu perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan. Kedua, Hilgard dan Marquis berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri. Ketiga, Robert M Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Keempat, Henry E. Garret berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Kelima, Benjamin Bloom menegaskan bahwa belajar adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, sebagai masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Penegrtian-pengertian terebut sejalan dengan pendapat Ahmad Kosasih Djahiri (1996:5) yang mengemukakan bahwa belajar adalah:
Proses dialog antar potensi diri melalui berbagai media pengajaran dan melalui berbagai reka upaya kegiatan sehingga mampu menyerap bahan ajar menjadi miliknya. Proses transaksi/interaksi antar struktur potensi diri dan antar struktur potensi diri dengn guru atau sesuatu sehingga terjadi proses internalisasi/personalisasi yang menyebabkan perubahan atas dirinya. Proses perubahan diri dari tidak tahu menjadi tahu dan tidak bisa menjadi bisa.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa belajar terjadi bila tampak tanda-tanda bahwa perilaku manusia berubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Melainkan perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku yang menurut pendapat Slamet (2003:3) ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Perubahan terjadi secara sadar.
b.      Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
c.       Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
d.      Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
e.       Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
f.       Perubahan mencakup seluruh aspek dan tingkah laku.

2.    Prinsip-prinsip Belajar
Untuk dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang efektif, maka seorang guru harus mampu menerapkan prinsip-prinsip belajar  yang dapat dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda sekalipun, dan oleh setiap siswa secara individual. Berikut adalah prinsip-prinsip belajar dengan memperhatikan empat kriteria atau komponen.
a.       Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar
1)      Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan untuk berpartisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.
2)      Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
3)      Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif.
4)      Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
b.      Sesuai hakikat belajar
1)      Belajar itu proses kontinu, maka harus dilaksanakan melalui tahap demi tahap menurut perkembangannya.
2)      Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery.
3)      Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan respons yang diharapkan.
c.       Sesuai materi atau bahan yang harus dipelajari
1)      Belajar bersifat keseluruhan danmateri itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.
2)      Belajar harus dapat mengembangkan kemapuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
d.      Syarat keberhasilan belajar
1)      Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang.
2)      Repetisi, dalam  proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian, keterampilan, dan sikap  itu mendalam  pada siswa.
3.    Pengertian Mengajar
Mengajar adalah membantu (mencoba membantu) seseorang untuk mempelajari sesuatu dan apa yang dibutuhkan dalam belajar itu tidak ada kontribusinya terhadap pendidikan orang yang belajar. Artinya mengajar pada hakekatnya suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa untuk belajar. Menurut Alvin W. Howard dalam Slamet (2005:32) mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapat, mengubah atau mengembangkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge.
Dengan demikian, dalam pengertian tersebut guru sebagai pengajar harus berusaha membawa perubahan tingkah laku yang baik atau berkecenderungan langsung untuk mengubah tingkah laku siswanya. Itu suatu bukti bahwa guru harus memutuskan membuat atau merumuskan tujuan. Juga harus memikirkan bagaimana bentuk/cara penyajian dalam proses belajar mengajar itu, salah satunya dibuktikan dengan pembuatan silabus dan perencanaan pembelajaran. Serta bagaimana usaha-usaha guru untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif (misalnya dengan penggunaan variasi metode, media dan evaluasi dalam KBM). Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi edukatif sebagai dampak dari mengajar yang efektif yang telah memenuhi syarat-syaratnya sebagai berikut:
a.       Belajar secara aktif, baik mental maupaun fisik. Dalam belajar, disamping mengalami aktivitas mental, sperti dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya, kemampuan berfikir  kritis, kemamupan menganalisis, kemampuan mengucapkan pengetahuannya dan lain sebagainya, siswa juga harus mengalami aktivitas jasmani seperti mengerjakan sesuatu, membuat peta dan lain-lain.
b.      Guru harus mempergunakan variasi metode pada waktu mengajar. Supaya pelajaran lebih menarik, mudah diterima, kelas menjadi hidup dan tidak membosankan.
c.       Motivasi, sangat berperan pada kemajuan perkembangan siswa, karena dapat meningkatkan semangat belajar siswa.
d.      Kurikulum yang baik dan seimbang. Ialah kurikulum yang memenuhi tuntutan masyarakat. Dimana kurikulum tersebut harus mampu mengembangkan segala segi kepribadian siswa juga kebutuhan siswa sebagai anggota masyarakat.
e.       Guru perlu mempertimbangkan perbedaan individual siswa baik dari segi intelegensi, bakat, minat, tingkah laku, sikap dan lain sebagainya. Hal itu mengharuskan guru untuk membuat perencanaan secara individual, agar dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan siswa secara individual pula.
f.       Guru akan mengajar efektif bila selalu membuat perencanaan sebelum mengajar. Karenanya guru akan mengajar dengan lebih siap, menimbulkan banyak inisiatif dan daya kreatif dalam mengajar. Sehingga dapat meningkakan interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa.
g.      Pengaruh guru yang sugestif perlu diberikan pula kepada siswa. Karena sugesti yang kuat akan merangsang siswa untuk lebih giat belajar.
h.      Guru harus memiliki keberanian mengahdapi siswanya, juga masalah-masalah yang timul saat PBM berlangsung. Keberanian menmbuhkan kepercayaan diri sendiri, sehingga guru berwibawa di depan kelas, maupun di luar sekolah. Kewibawaan guru menyebabkan segala cita-cita yang ditanamkan kepada siswa akan diperhatikan dan diresapkan oleh siswa yang bersangkutan.
i.        Guru harus mampu menciptakan suasana yang demokratis di sekolah. Sehingga siswa dapat saling menghormati, belajar memecahkan masalah, mengembangkan kemampuan berfikir, berpendapat, memiliki percaya diri yang kuat, hasrat ingin tahu, serta usaha menambah pengetahuan atas inisiatif sendiri.
j.        Pada penyajian, guru perlu memberikan masalah-masalah yang merangsang siswa untuk berfikir. Agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikirnya serta dapat bereaksi dengan tepat terhadap persoalan yang dihadapinya.
k.      Semua pelajaran yang diberikan pada siswa perlu diintegrasikan, sehingga siswa memiliki pengetahuan yang terintegrasi, tidak tepisah-pisah dan siswa memperoleh gambaran bahwa diantara ilmu-ilmu pengetahuan itu saling behubungan dan saling melengkapi satu sama lainnya.
l.        Pelajaran di sekolah perlu dihubungkan dengan kehidupan yang nyata di masyarakat, agar siswa mempelajarinya sesuai dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari.
m.    Dalam interaksi belajar mengajar, guru harus banyak memberi kebebasan pada siswa untuk dapat menyelidiki, mengamati, belajar, dan mencari pemecahan masalah sendiri. Hal itu akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa yang dikerjakannya dan keprcayan pada diri sendiri, sehingga siswa tidak selalu menggantungkan diri pada orang lain.
n.      Pengajaran remedial bagi siswa yang memerlukan. Hal itu diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kesulitan dalam belajar bagi siswa-siswa tertentu. Sehingga guru dapat meberikan diagnosa kesulitan belajar tersebut dan menganalisis kesulitan-kesulitan itu.

4.    Prinsip-prinsip Mengajar
Sebagai pengajar, guru dipandang sebagai seorang profesional karena memiliki pengetahuan yang memang hanya dapat dikuasai dengan pendidikan tertentu, mampu secara mandiri mengambil keputusan, mempunyai prestise tertentu dalam masyarakat (Bernadib, 1996:60 dalam Syaiful Sagala 2005:10). Dalam mengajar, guru berhadapan dengan sekelompok siswa. Di situ selain sebagai pribadi, guru juga mempunyai multi peran anatara lain sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu (inovator), model dan teladan, peneliti, pendorong kreatifitas (motivator), aktor, emansipator, kulminator, evaluator dan sebagainya. Mengingat tugas dan peran tersebut, maka guru yang mengajar harus mempunyai prinsip-prinsip mengajar yang harus dilaksanakan seefektif mungkin agar tidak asal mengajar. Sehingga guru tersebut dapat mengantarkan peserta didiknya menuju kedewasaan dan kemandirian serta menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri juga lingkungan sekitarnya sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun salah satu pendapat mengenai prinsip-prinsip mengajar tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini:
a.       Perhatian
Dalam mengajar, guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa kepada pelajaran yang diberikan oleh guru. Perhatian akan lebih besar bila pada siswa ada minat dan bakat. Bakat telah dibawa siswa sejak lahir, namun dapat berembang karena pengaruh pendidikan dan lingkungan. Perhatian dapat timbul secara langsung, karena pada siswa sudah ada kesadaran akan tujuan dan kegunaan mata pelajaran yang diperolehnya. Sedangkan perhatian tidak langsung baru timbul bila dirangsang oleh guru dengan penyajian pelajaran yang menarik, juga dengan menggunakan media yang merangsang siswa untuk berfikir, maupun menghubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Bila perhatian kepada pelajaran itu ada pada siswa, maka pelajaran yang diterimanya akan dihayati, diolah di dalam pikirannya, sehingga timbul pengertian. Usaha ini mengakibatkan siswa dapat membanding-bandingkan, membedakan, dan menyimpulkan pengetahuan yang diterimanya.
b.      Aktivitas
Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam befikir maupun berbuat. Dengan aktivitas siswa sendiri, maka siswa dapat lebih berpartisipasi aktif dalam PBM. Disamping itu penerimaan pelajaran pun akan lebih mudah dan tidak akan berlalu begitu saja, tetapi dipikirkan, diolah kemudian dikeluarkan lagi dalam bentuk yang berbeda, seperti mengajukan pendapat,  pertanyaan, diskusi, melaksanakan tugas, membuat intisari pelajaran, dan sebagainya. Sehingga siswa akan memperoleh ilmu pengetahuan itu dengan baik.
c.       Apersepsi
Dalam mengajar, guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa ataupun pengalamannya. Dengan demikin siswa akan memperoleh hubungan antara pengetahuan yang telah menjadi miliknya dengan pelajaran yang akan diterimanya. Hal ini lebih melancarkan guru dalam mengajar, dan membantu siswa untuk memeperhatikan pelajarannya dengan lebih baiklagi.
d.      Peragaan
Untuk membantu guru dalam menjelaskan pelajaran serta mempermudah pemahaman siswa terhadap pelajaran yang disampaikan, maka guru harus berusaha untuk dapat memilih dan menunjukkan media yang tepat sesuai dengan materi yang disampaikannya. Media tersebut dapat berupa model, gambar, benda tiruan, atau media elektronok (radio, tape recorder, televisi), dan lain sebagainya. Dengan penggunaan media tersebut, selain dapat mempermudah guru, hal itu juga dapat menarik perhatian siswa dan lebih merangsang siswa untuk berfikir.
e.       Repetisi
Ingatan siswa itu terbatas, maka perlu dibantu oleh guru dengan mengulangi pelajaran yang sedang dijelaskan. Karena dengan pengulangan tersebut makin lama akan memberikan tanggapan yang semakin jelas, dan tidak mudah dilupakan oleh siswa. Sehingga dapat digunakan siswa untuk memecahkan masalah. Pengulangan itu dapat diberikan secara teratur, pada waktu-waktu tertentu, atau setelah tiap unit diberikan, maupun secara insidental dimana dianggap perlu.
f.       Korelasi
Guru dalam mengajar wajib memperhatikan dan memikirkan hubungan antar setiap mata pelajaran. Begitu juga dalam kenyataan hidup semua ilmu/pengerahuan itu saling berkaitan. Namun hubungan itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi terus dipikirkan sebab akibatnya. Ada hubungan secara korelasi, hubungan itu dapat diterima akal, dapat dimengerti, sehingga memperluas pengetahuan siswa itu sendiri.
g.      Konsentrasi
Hubungan antar mata pelajaran dapat diperluas. Mungkin dapat dipusatkan kepada salah satu pusat minat, sehingga siswa memperoleh pengetahuan secara luas dan mendalam. Siswa melihat pula hubungan pelajaran yang satu dengan lainnya. Perencanaan bersama guru dan siswa membangkitkan minat siswa untuk belajar. Di dalam konsentrasi pelajaran banyak mengandung situasi yang problematik, sehingga dengan metode pemecahan soal siawa terlatih memecahkan soal sendiri. Pelajaran yang saling berhubungan, menyebabkan siswa memperoleh kesatuan pelajaran yang bulat, tidak terpisah-pisahkan lagi. Pertumbuhan siswa dapat berkembang dengan baik, siswa tidak merasa dipaksa untuk belajar. Usaha konsentrasi pelajaran menyebabkan siswa memperoleh pengalaman langsung, mengamati sendiri, meneliti sendiri, untuk menyusun dan menyimpulkan pengetahuan itu sendiri.
h.      Sosialisasi
Dalam perkembangannya siswa perlu bergaul dengan teman lainnya. Karena disamping sebagai individu, siswa juga mempunyai segi sosial yang perlu dikembangkan. Hal itu dapat ditempuh oleh guru melalui proses KBM dengan membagi siswa kedalam beberapa kelomok belajar (kerja kelompok). Bekerja didalam kelompok, selain dapat bekerja sama, bergotong royong, dan saling tolong-menolong, juga dapat meningkatkan cara berpikir mereka, sehingga dapat memecahkan masalah dengan lebih baik dan lancar.
i.        Individualisasi
Siswa merupakan makhluk individu yang unik. Masing-masing mempunyai perbedaan khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi, tingkah laku, watak maupun sikapnya. Mereka bebeda pula dalam hal latar belakang kebudayaan, sosial ekonomi, dan keadaan orang tuanya. Maka dari pada itu guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Untuk kepentingan perbedaan individual, guru perlu mengadakan perencanaan untuk siswa secara klasikal maupun perencanaan program individual. Dalam hal ini guru harus mencari teknik penyajian atau sistem pengajaran yang dapat melayani kelas, maupun siswa sebagai individu. Masing-masing siswa juga memiliki tempo perkembangan yang sendiri-sendiri, maka guru dalam memberi pelajaran juga melayani waktu yang diperlukan oleh masing-masing siswa atau menggunakan sistem belajar tuntas.
j.        Evaluasi
Semua proses KBM perlu dievaluasi. Evaluasi dapat memberi motivasi bagi guru maupun siswa. Mereka akan lebih giat belajar, meningkatkan proses befikirnya. Guru harus memiliki pengertian evaluasi ini, mendalami tujuan, mengenal fungsi/kegunaan, macam-macam bentuk, teknik dan prosedur evaluasi atau penilaian. Guru dapat melaksanakan penilaian yang efektif dan menggunakan hasil penilaian untuk perbaikan KBM. Evaluasi juga dapat menggambarkan kemajuan/kemunduran prestasi siswa, sehingga guru dapat mengambil tindakan yang tepat bila siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Disamping itu evaluasi juga dapat menjadi bahan umpan balik bagi guru sendiri.Dimana guru dapat meneliti dirinya dan berusaha  memperbaikinya baik dalam perencanaan maupun teknik penyajian pembelajaran.

B.  Tinjauan tentang Profesi
1.  Pengertian
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer. Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Kunandar,2007: 45). Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yan dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan kealian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.  (UU Nomor 14 Tahun  2005 tentang Guru dan Dosen). Profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khuhus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk   menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang   bersangkutan. Guru sebagai profesi, berarti guru merupakan pekerjaan yang mensyaratkan suatu kompetensi (keahlian/ kewenangan)  dalam pendidikan dan pembelajaran, agar dapat melaksanakan pekerjaan secara efektif dan efisien serta berhasil guna. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman dalam bidang keahliannya sebagai pendidik dan pengajar.

2. Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:
1.        Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktek.
2.        Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
3.        Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
4.        Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5.        Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
6.        Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7.        Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8.        Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
9.        Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10.    Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
11.    Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
Pendapat lain mengatakan bahwa syarat khusus pekerjaan profesional adalah sebagai berikut.
1.        Menuntut adanya keterampilan berdasarkan konsep dan teori  ilmu pengetahuan yang mendalam.
2.        Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu  sesuai dengan bidang profesinya.
3.        Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai.
4.        Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan.
5.        Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
6.        Memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas  dan fungsinya.
7.        Memiliki klien/objek layanan yang tetap, seperti dokter dengan   pasiennya, guru dengan muridnya. Diakui masyarakat karena diperlukan jasanya.
(Kunjana, 2007: 47)

C.  Mengajar sebagai Profesi
Profesional adalah suatu bidang pekerjaan yang memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain sebuah profesi rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimaI. Dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memilki pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik dalam KBM serta landasan-landasan kependidikan seperti tercantum dalam kompetensi guru dalarn uraian selanjutnya. Dalam melakukan kewenangan profesionalismenya, guru dituntut memiliki seperangkat kemampuan (kompetensi) yang beraneka ragam.
Guru adalah profesi, guru profesional adalah guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam pendidikan, tanpa dedikasi tinggi maka proses belajar mengajar akan kacau balau. Dalam proses belajar mengajar, yang telah berlangsung di dalam kelas, dapat ditemukan beberapa komponen yang bersama-sama mewujudkan proses belajar mengajar yang dapat juga dinyatakan sebagai struktur dasar dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan murid dalam mencapai cita-citanya. Seperti tertuang pada hadits Nabi Khairunnaas anfa’uhum linnaas artinya sebaik baik manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. Menurut Zakiah Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu : bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.
Guru memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa.
Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari “citra” guru di tengah-tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ad. Rooijakkers. 1980. Mengajar dengan sukses, Gramedia, Jakarta.
H. Dirawat. 1993, Sistem pembinaan professional dan cara belajar siswa aktif, Grasindo, Jakarta.
Qomari Anwar. 2001. Pendidikan sebagai Karakter Budaya Bangsa, Uhamka Press, Jakarta.
__________. 2002. Reorientasi Pendidikan dan Profesi Keguruan, Uhamka Press, Jakarta.
Winkel, WS. 1989. Psikologi Pengajaran, Gramedia, Jakarta.