Kamis, 09 Juni 2011

SERTIFIKASI GURU


BAGAIMANAKAH FIGUR “SANG GURU SERTIFIKASI” ?

Oleh : Nanang Heryanto, S.Pd.I
(Ketua KKG Gugus IV Lakbok)

Sejak beberapa tahun yang lalu, tentunya kita sering mendengar kata sertifikat dan sertifikasi. Paling tidak kita tentunya tidak asing lagi dengan terminologi sertifikat pelatihan, sertifikat tanah, dan sertifikat halal bagi makanan yang dikeluarkan oleh MUI. Berawal dari paradigma tersebut, secara sederhana dapat kita asumsikan bahwa sertifikat itu adalah selembar kertas pengakuan atas keterjaminan suatu benda tertentu berdasarkan hasil uji kelayakan dari pihak terkait. Nah, akhir-akhir ini seiring dengan diundangkannya UU tentang Guru dan Dosen, muncul pula idola baru bagi para pengajar dan pendidik di negeri ini, yaitu adanya sertifikat pendidik. Dan entah darimana datangnya, muncul istilah bagi guru yang mendapatkan sertifikat tersebut dengan sebutan “Guru Sertifikasi” padahal mungkin akan lebih tepat kalau disebut “Guru Profesional” karena bagi yang mendapatkan sertifikat pendidik, (seharusnya) sangat layak disebut guru profesional.
Lalu muncul pertanyaan di lapangan tentang siapa yang sebenarnya berhak mendapatkan sertifikat pendidik tersebut. Secara sederhana dapat kita kemukakan bahwa yang berhak untuk mendapat sertifikat pendidik tentu saja guru yang benar-benar teruji sebagai seorang pendidik. Pendidik yang baik bukan hanya yang mampu mencetak juara-juara kelas atau yang paling aktif di berbagai kegiatan (apalagi yang tidak aktif sama sekali), akan tetapi harus memenuhi minimal empat kompetensi guru yang mencakup kompetensi paedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Jika guru telah memenuhi empat kriteria tersebut, secara de jure guru tersebut berhak untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Analogi dari hal tersebut, tidaklah mungkin sertifikat makanan “halal” ditempelkan oleh pihak terkait pada makanan yang diragukan kehalalannya apalagi yang benar-benar haram. Jadi pemberian sertifikat pendidik melalui beberapa persyaratan tertentu yang intinya adalah guru harus profesional.
Membahas tentang profesionalisme mungkin tidak akan ada ujungnya, akan tetapi secara singkat dapat diungkapkan beberapa ciri guru yang (layak) bersertifikat pendidik profesional. Jadi punten saja bagi yang merasa belum memenuhi kriteria di bawah ini tolong lakukan apa yang harus dilakukan dan imbangi hak dengan kewajiban. Beberapa ciri yang terlihat secara kasat mata dan dapat kita jadikan tolok ukur kelayakan seorang guru mendapatkan sertifikat pendidik berikut tunjangan yang melekat padanya, antara lain:
       1.         Memahami dan mengaplikasikan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, kepribadian.
Guru yang bersertifikat pendidik hendaknya menguasai teknik mengajar anak-anak yang baik dan benar. Selain itu menunjukkan sikap profesional dalam mengajar, jangan sampai mengajar anak didik dengan menggunakan pola pembelajaran yang enak bagi guru tapi tak enak bagi siswa. Selain itu jangan dilupakan kompetensi sosial guru yang harus mampu menjaga nama baik profesi dalam kondisi apapun dan di manapun. Hal tersebut berkaitan erat tentunya dengan kualitas kepribadian guru tersebut. Keempat kompetensi itu mutlak harus dimiliki guru sebagai salah satu ciri kelayakan dirinya mendapatkan sertifikasi.
       2.         Memiliki kinerja yang lebih baik dari yang belum bersertifikat
Hal kedua yang menjadi ciri guru sertifikasi adalah menunjukkan kinerja yang lebih baik dari guru yang belum bersertifikat. Hal tersebut mutlak diperlukan agar guru yang belum sertifikasi jadi termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi. Akan tetapi akan sangat fatal akibatnya jika guru yang sudah disertifikasi justru menunjukkan kinerja rendah, maka akan melemahkan semangat guru yang lain bahkan akan muncul ungkapan “Laah, nu sertifikasi ge kitu...”
       3.         Melakukan pengembangan profesional berkelanjutan
Ciri yang lain dari guru yang “layak” sertifikasi adalah melakukan usaha pengembangan keprofesian berkelanjutan (CPD) misalnya dengan mengikuti pelatihan, pendidikan, meningkatkan kualifikasi pendidikan, aktif dalam kegiatan kelompok kerja (KKG/MGMP), dan usaha pengembangan keprofesian lainnya.
       4.         Memiliki moralitas yang baik
Hal keempat yang menjadi ciri guru sertifikasi adalah memiliki moralitas yang baik. Sangat layak kalau guru yang sudah disertifikasi memiliki moral yang baik. Moral di sini memiliki dimensi yang luas, misalnya moralitas yang baik secara mudahnya dapat dilihat dari kejujuran, tingkah laku, tutur sapa, cara menyelesaikan masalah, serta yang paling perlu diperhatikan adalah guru tidak terlibat penyimpangan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat.
       5.         Memiliki disiplin dan integritas yang tinggi
Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk membedakan mana guru sertifikasi, atau mana yang bukan guru sertifikasi adalah kedisiplinan dan integritas dalam melaksanakan tugas. Kedisiplinan meliputi disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi guru. Semoga tidak ada (lagi) guru sertifikasi dengan gelar “Guru Sertifikasi 89” yang merupakan ungkapan bagi guru sertifikasi yang berangkat sekolah jam 8 serta kembali ke rumah jam 9 pagi. Integritas harus pula dijaga dan ditingkatkan agar guru terlihat (merasa) memiliki sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan bagi siswa.
       6.         Memanfaatkan tunjangan yang diperoleh untuk pengembangan profesinya
Hal lain yang penting “The last but not least” adalah menyisihkan (bahkan mengutamakan) sebagian tunjangan yang diperoleh untuk usaha mengembangkan profesinya, misalnya uang sertifikasi digunakan untuk membeli buku atau membuat media pembelajaran di dalam kelas. Jangan sampai terjadi uang tunjangan sertifikasi untuk hal-hal yang tidak menunjang profesionalisme guru, apalagi sampai digunakan untuk hal-hal yang merusak profesionalisme itu sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum jika di lapangan, masih ditemukan kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Salah satu contoh pernah terjadi guru yang secara umum sudah diketahui kurang menunjukkan kinerja yang baik ternyata mendapatkan sertifikasi. Hal tersebut tentunya membuat adanya gejolak di kalangan pendidik itu sendiri. Di satu sisi kita berharap dengan adanya tunjangan sertifikasi akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan bangsa, sedangkan di sisi lain terindikasi adanya oknum guru yang mendapat sertifikasi tidak mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Bagaimana pendidikan mau maju jika pendidiknya berpikir mundur.
Hal lain yang ditemukan di lapangan adalah adanya asumsi dari penerima sertifkasi adalah suatu hadiah cuma-cuma, sehingga tidak terlihat adanya peningkatan kinerja guru sebelum dan setelah menikmati sertifikasi. Dan yang lebih mencengangkan adalah hasil survey P4TK Matematika (last updated Februari 2011) yang menunjukkan lebih dari 50 % responden menjawab sertifikasi tidak berpengaruh terhadap kinerja guru. Mungkin hal tersebut terasa menyakitkan bagi guru sertifikasi yang sudah meningkatkan kinerjanya, akan tetapi di sisi lain memang masih ada guru yang hanya menikmati hak tanpa mengingat kewajibannya.
Kenyataan lain yang mungkin tidak diprediksi apalagi diharapkan oleh kita bersama adalah belum meningkatnya kinerja guru dengan adanya tambahan penghasilan yang cukup luar biasa melalui program sertifikasi. Sangat diyakini bahwa tunjangan sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru, dengan logika meningkatnya penghasilan akan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja. Akan tetapi harapan tersebut belum mampu sepenuhnya terealisasi dengan sempurna. Masih ditemukan juga oknum guru bersertifikat yang belum mampu meningkatkan kinerjanya. Hal tersebut merupakan kenyataan pahit yang harus segera dibenahi oleh seluruh stake holder pendidikan.
Belum meningkatnya kinerja guru penerima tunjangan sertifikasi akan menimbulkan kecemburuan dari guru lain yang belum terbawa sertifikasi. Secara manusiawi, hal tersebut sangat logis, meskipun secara keprofesian hal tersebut kurang dapat dibenarkan. Karena tiap-tiap guru memiliki tanggung jawab yang sama yaitu untuk mewujudkan cita-cita founding father bangsa kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana pun juga, adanya kecemburuan sosial ekonomi ini harus segera diakhiri, karena anak-anak bangsa kita tidak tahu menahu apakah kita guru yang bersertifikat atau belum.
Berdasarkan realita yang berkembang di lapangan, muncul beberapa harapan terhadap para guru sertifikasi agar tidak berlanjut polemik dan kesenjangan antara guru sertifikasi dan guru belum sertifikasi. Adapun secara umum harapan terhadap guru yang telah terbawa program sertifikasi antara lain :
       1.       Guru bersertifikat lebih mengembangkan kemampuan pedagogiknya agar mampu menjadi contoh figur bagi guru yang belum sertifikasi.
       2.       Meningkatkan kinerja sehari-hari agar memotivasi rekan-rekan guru yang lain sehingga terjadi suasana kerja yang kondusif.
       3.       Meningkatkan disiplin kerja dengan catatan usahakan guru bersertifikat lebih disiplin dalam segala hal dibandingkan dengan guru lainnya.
       4.       Meningkatkan moralitas dan menjadi teladan bagi guru yang lain.
       5.       Mengimbangi tunjangan yang didapatkan dengan peningkatan kompetensi guru.
       6.       Mau dan mampu mengadakan inovasi pembelajaran.
       7.       Lebih aktif dalam organisasi pengembangan profesi guru sebagai konsekuensi sebagai tenaga pendidik yaitu melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Andaikata semua guru bersertifikat ingat dan sadar akan hak dan kewajibannya serta mampu melakukan perubahan dan peningkatan kinerja, sangat diyakini tidak akan muncul adanya polemik dan permasalahan, akan tetapi akan muncul suasana kerja yang kondusif, penuh kompetisi positif, dan motivasi bagi semua tenaga pendidik untuk selalu meningkatkan kinerjanya dan pada akhirnya bermuara kepada peningkatan mutu pendidikan. Di sisi lain guru yang belum bersertifikat pun tidak harus menjadi lemah karena merasa memiliki hak yang berbeda dengan guru yang lain. Akan tetapi kita harus ingat kembali pada jati diri kita sebagai guru yang siap mengabdikan diri demi mencerdaskan generasi bangsa. Selayaknya guru yang belum bersertifikat pun tak berhenti melakukan pengembangan pofesi agar terwujud proses pendidikan yang berkualitas. Dan satu unsur penting yang tidak dapat ditinggalkan adalah upayakan adanya reward and punishment terhadap kinerja guru secara objektif. Dengan adanya reward and punishment yang objektif akan meningkatkan motivasi semua guru untuk selalu memberikan kinerja yang terbaiknya. Bagaimanapun juga guru masih dan akan selalu terus berperan sebagai penentu arah kemajuan bangsa di masa datang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar